BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia disebut Negara agraris,
karena kurang lebih 75% penduduknya hidup di pedesaan dan sebagian besar yang
menggantungkan hidupnya pada sector pertanian.
Agropolitan merupakan kawasan ekonomi berbasis pertanian dan dicirikan
komoditi unggulan, dengan batasan skala ekonomi/skala usaha tanpa dibatasi
wilayah administrasi. Sasaran dalam pengembangan kawasan agropolitan ini adalah
mewujudkan kawasan agroplitan dan berkembangnya ekonomi lokal yang berbasis
produk unggulan daerah yang efektif, efisien, transparan dan berkelanjutan.
Dampak pengembanagan kawasan
agropolitan dapat memberikan kesejahteraan masyarakat. Konsep ini diyakini
mampu mengangkat martabat masyarakat setempat dengan meningkatkan kemampuan
perekonomian mereka. kawasan agropolitan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Keberhasilan sektor pertanian mengangkat perekonomian
masyarakat didukung oleh ketersediaan sumber daya aLam yang memadai.
Ketersediaan lahan yang subur memungkinkan pengembangan berbagai komoditas,
baik komoditas tanaman pangan dan hortikuttura maupun berbagai komoditas
pertanian lainnya.
Kondisi sektor pertanian yang menonjol dalam struktur
ekonomi kabupaten enrekang sangat relevan apabila sektor pertanian dikembangkan
sebagai sektor unggulan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan ekonomi daerah. Dalam rencana pembangunan jangka panjang daerah
(RPJP) menetapkan visi kabupaten enrekang adalah sebagai daerah agropolitan
yang mandiri, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada tahun 2028.
Luas potensi pengembangan pertanian di
kabupaten enrekang mencapai 68.331 Ha,dan yang termanfaatkan sebesar 55.507 Ha.
Kecamatan Alla yang dengan Luas wilayah 34,66 Km2 , yang sebagian
besar wilayahnya adalah wilayah pertanian dengan luas 303 Ha, dengan jumlah
produksi 15.048 Ton/tahun. Dengan ditetapkannya Kecamatan Alla
sebagai kawasan agropolitan di kabupaten enrekang pada tahun 2011-2031, dan maka perlu adanya pengembangan kawasan
agropolitan yang berbasis pada sektor unggulan untuk dapat menunjang
kesejahteraan rakyat. Untuk itu maka dibutuhkan ketersedian saran dan prasarana
untuk dapat menunjang dan meningkatkan kawasan agropolitan. Berdasarkan uraian
di atas perlu penulis mengangkat judul Pengembangan Kawasan Agropolitan
Terhadap Produksi Komuditi Unggulan Di Kecamatan Alla Kab.Enrekang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengaruh peningkatan produksi komuditi unggulan terhadap pengembangan kawasan
agropolitan terhadap di kecamatan Alla Kab.Enrekang.
2. Bagaimana
pengaruh sarana dan prasarana terhadap pengembangan kawasan agropolitan di
kecamatan Alla Kab.Enrekang.
C. Tujuan Penilitian
1. Untuk
mengetahui peningkatan produksi komuditi unggulan terhadap pengembangan kawasan
agropolitan terhadap di kecamatan Alla Kab.Enrekang.
2. Untuk
mengetahui terhadap pengembangan sarana dan prasarana kawasan agropolitan
terhadap di kecamatan Alla Kab.Enrekang.
D. Manfaat
Penilitian
1. Dari hasil penilitian ini, maka diharapkan
dapat membantu pemerintah setempat dalam mengembangkan kawasan agropolitan di Kecamatan
Alla , Kab.Enrekang.
2. Sebagai mahasiswa kami berharap dari
penilitian , dapat menjadi bahan masukan bagi Pemda setempat, pembelajaran dan
pertimbangan untuk tugas selanjutnya.
E.
Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penelitian
berlokasi di KabupatenAlla KabupatenEnrekang
dengan mmruang lingkup penelitian mengenai pengembangan agrowisata. Dengan lingkup varaibel yang diteliti yakni
peningkatan produksi komuditi dan pengembangan sarana dan prasarana. Sehingga
dalam hal ini mka dapat dijadikan
sebagai arahan pengembangan kawasan agropolitan terhadap peningkatan
produksi komuditi unggulan di kecamatan Alla Kab.Enrekang.
F. Sistematika Laporan
Dalam penulisan laporan ini dilakukan
dengan mengurut data sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kegunaan, sehingga
semua aspek yang dibutuhkan dalam proses selanjutnya terangkum secara
sistematis, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang Latar belakang,, rumusan
masalah, tujuan, manfaat serta sistematika laporan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang landasan teori, hubungan antara
variabel, studi empiris, perspektif Al-Qur’an, Kerangka Fikir, dan Hipotesis.
BAB III METODOLGI PENELITIAN
Tentang lokasi penelitian, jadawal penilitian, jenis dan
sumber data, pengumpulan data, variable penelitian , metode analisis
penilitian, defenisi operasional, dan kerangka fikir.
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH
Memuat tentang data atau informasi yang di dapat
dilapangan berupa gambaran umum kecamatan berupa kondisi fisik dan penggunaan
lahan, karakterisitik social kependudukan, karakteristik kegiatan ekonomi serta
sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi khususnya penunjang kawasan
agropolitan.
BAB
V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat tentang analisis sector unggulan(lq), dan
analisis sklaogram.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran pada
penilitian yang dikerjakan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.
Agropolitan
a. Kawasan Agropolitan
Agropolitan terdiri dari dua kata, agro dan politan
(polis). Agro berarti pertaian dan politan berarti kota, sehingga agropolitan
dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota daerah lahan pertanian ataupun
pertanian di kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong,
menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah
sekitarnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu
program, mulai dari perencanaan yang
tepat sudah nampak untuk keberhasilan
selanjutnya. Sejak tahap
permulaan pembangunan sampai
saat ini sektor
pertanian adalah sektor
yang selalu menjadi
pusat perhatian, karena
merupakan sektor penting
yang mendukung perekonomian
nasional di Indonesia.
Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa
sektor ini selain
dapat meningkatkan Produk
Domestik Bruto (PDB)
juga memberikan kesempatan
kerja bagi kebanyakan
tenaga kerja yang tidak atau kurang terdidik dan terampil.
b. Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan
Berdasarkan issue dan
permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan
agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan).
Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang
ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat
agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membetuk Kawasan Agropolitan.
Disamping itu, Kawasan agropolitan ini juga
dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya
sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani
dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah
sekitarnya (lihat gambar 1).
Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak
bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN)
dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten
(RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan
kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana
Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus
mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian tujuan pembangunan
nasional dapat diwujudkan.
Disamping itu, pentingnya pengembangan kawasan
agropolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan pertanian dan
tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge)
di sebagian besar petani, jaringan (network)
terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata
(institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia
dibandingkan dengan negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi,
mengingat pengembangan kawasan agropolitan ini menggunakan potensi lokal, maka
konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial local (local social culture).
Gambar
1
|
Keterangan:
Penghasil Bahan Baku
Pengumpul Bahan Baku
Sentra Produksi
Kota Kecil/Pusat Regional
Kota Sedang/Besar (outlet)
Jalan & Dukungan Sapras
Batas Kws Lindung, budidaya, dll
Batas Kws Agropolitan
|
Secara lebih luas,
pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem
kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota
dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan manusia. Melalui dukungan sistem
infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan
dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi,
seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud (lihat gambar 2).
Gambar 2
Konsep Pengembangan
Kawasan Agropolitan dalam
Konteks
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
Dalam rangka pengembangan
kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun Master Plan Pengembangan
Kawasan Agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program
pengembangan. Adapun muatan yang
terkandung didalamnya adalah :
1. Penetapan pusat agropolitan yang
berfungsi sebagai (Douglas, 1986) :
a. Pusat
perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural
trade/ transport center).
b. Penyedia
jasa pendukung pertanian (agricultural
support services).
c. Pasar
konsumen produk non-pertanian (non
agricultural consumers market).
d. Pusat
industri pertanian (agro-based industry).
e. Penyedia
pekerjaan non pertanian (non-agricultural
employment).
f.
Pusat agropolitan dan hinterlannya terkait
dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/
Kabupaten).
2. Penetapan unit-unit kawasa pengembangan
yang berfungsi sebagai (Douglas,
1986) :
a. Pusat
produksi pertanian (agricultural
production).
b. Intensifikasi
pertanian (agricultural intensification).
c.Pusat pendapatan perdesaan
dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and services).
d. Produksi
tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification).
3. Penetapan sektor unggulan:
a. Merupakan
sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
b. Kegiatan
agribisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar
(sesuai dengan kearifan lokal).
c. Mempunyai
skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.
4. Dukungan sistem infrastruktur
Dukungan infrastruktur yang
membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan
diantaranya : jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas
(listrik dan telekomunikasi).
5. Dukungan sistem kelembagaan.
a.
Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan
kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah dengan
fasilitasi Pemerintah Pusat.
b.
Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan
disinsentif pengembangan kawasan agropolitan.
Melalui
keterkaitan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan produksi pertanian
berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi
ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan agropolitan sehingga pembangunan
perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan.
2. Komoditi
Unggulan
Keunggulan komperatif
bagi suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah adalah bahwa komoditi itu
lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian
unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk
nilai tambah riil. Keunggulan komperatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang
secara perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah (Tarigan,
2001). Sedangkan sektor unggulan menurut
Tumenggung (1996) adalah sektor yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif dengan produk
sektor sejenis dari daerah lain serta memberikan nilai manfaat yang besar.
Sektor unggulan juga memberikan nilai tambah dan produksi yang besar, memiliki
multiplier effect yang besar terhadap perekonomian lain, serta memiliki
permintaan yang tinggi baik pasar lokal maupun pasar ekspor (Mawardi, 1997).
3.
Sarana
dan prasarana
1. ) Standarisasi Penyediaan Sarana
Infrastuktur wilayah
berupa sarana harus memenuhi standarisasi penyediaan dan kelayakan sarana.
Dalam ruang lingkup perkotaan maupun pedesaan, sarana terakomodasi ke dalam
sarana sosial, sarana ekonomi dan sarana pelayanan umum. Adapun standarisasi
penyediaan sarana yakni sebagai berikut;
a.
Fasilitas
Pemerintahan dan Pelayanan Umum
Analisis kebutuhan fasilitas pelayanan umum guna
pelayanan kepada masyarakat secara makro, seperti kantor administrasi, kantor
pos, telepon umum, balai pertemuan, MCK dan parkir umum. Sesuai dengan fungsi
kota dan kebutuhan perkembangan penduduk kota, maka fasilitas yang dibutuhkan
diasumsikan memenuhi standarisasi penyediaan fasilitas pemerintahan dan
pelayanan umum seperti pada tabel 2.1. berikut;
Tabel 2.1. Standar Pelayanan Minimun Sarana Perkantoran
No.
|
Sarana
Pemerintahan
dan
Pelayanan Umum
|
Jumlah
Penduduk Pendukung
|
Luas
Lahan (ha)
|
1.
|
Parkir
umum + MCK
|
2.500
jiwa
|
0,02
|
2.
|
Balai
Pertemuan
|
2.500
jiwa
|
0,06
|
3.
|
Kantor
Camat
|
-
|
0,2
|
4.
|
Kantor
Lurah
|
-
|
0,1
|
5.
|
Kantor
Pos Pembantu
|
-
|
0,02
|
6.
|
Pos
polisi
|
-
|
0,04
|
7.
|
Kantor
Koramil
|
-
|
0,04
|
S
Sumber : Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2005
b.
Fasilitas
Pendidikan
Pendidikan
formal mempunyai beberapa tingkatan/jenjang yaitu taman kanak – kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah
Umum (SMU). Rencana kebutuhan fasilitas pendidikan maupun fasilitas sosial
ekonomi lainnya didasarkan pada standar perencanaan kebutuhan sarana kota,
dengan standar luasan yang berpedoman pada standar-standar seperti pada tabel 2.2 sebagai berikut;
Tabel 2.2. Standar Pelayanan Minimun Sarana Pendidikan
No
|
Sarana Pendidikan
|
Penduduk Pendukung
|
Luas Lahan (Ha)
|
Daya Tampung
|
1
|
TK
|
1.000
|
0,025
|
2 ruang kelas (jumlah murid tiap kelas adalah 40 jiwa)
|
2
|
SD
|
1.600
|
0,2
|
6 ruang kelas (jumlah murid tiap kelas adalah 40 jiwa)
|
3
|
SMP
|
4.800
|
0,9
|
Pengalokasian dikelompokkan dengan taman dan lapangan
olahraga. Standar jumlah murid adalah 40 murid/kelas.
|
4.
|
SMA
|
4.800
|
1,25
|
30 murid/ruang kelas dengan pengembangan sesuai kondisi
alam dan ketersediaan lahan ditambah taman dan lapangan olahraga.
|
Sumber
: Kepmen Kimpraswil No.
534/KPTS/M/2005
c.
Fasilitas Kesehatan
Kualitas sumberdaya manusia juga akan
ditentukan oleh tingkat kesehatan penduduk yang harus ditunjang dengan
penyediaan fasilitas kesehatan untuk pelayanan pada penduduk. Oleh karena itu
penyediaan fasilitas kesehatan di kawasan perencanaan perlu mendapat prioritas
tersendiri mengingat betapa pentingnya ketersediaan infrastuktur ini. Adapun
standarisasi jenis-jenis fasilitas kesehatan dari segi jumlah penduduk dan luas
lahan yakni dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut;
Tabel 2.3. Standar Pelayanan Minimun Sarana Kesehatan
No
|
Sarana Kesehatan
|
Penduduk Pendukung (jiwa)
|
Luas lahan (ha)
|
Radius Pencapaian
|
1
|
Pustu
|
6.000
|
0,005
|
1.500 m
|
2
|
Tempat Praktek Dokter
|
5.000
|
0,05
|
1.500 m
|
3
|
Posyandu
|
750
|
0,15
|
2.000 m
|
4
|
Balai Pengobatan
|
3.000
|
0,03
|
-
|
5
|
BKIA/RS Bersalin
|
10.000
|
0,65
|
2.000 m
|
6
|
Puskesmas
|
30.000
|
0,65
|
2.000 m
|
7
|
Rumah Sakit
|
240.000
|
8,44
|
-
|
8
|
Apotek
|
10.000
|
-
|
1.500 m
|
Sumber : Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2005
d.
Fasilitas Peribadatan
Penghitung kebutuhan fasilitas peribadatan di
kawasan perencanaan disesuaikan dengan jumlah penduduk pemeluk agama yang ada.
Berdasarkan data jumlah penduduk menurut agama di kawasan perencanaan
menunjukkan bahwa sekitar 98,6 % memeluk agama Islam dan selebihnya beragama
Kristen dan Hindu (1,4 %). Hal ini berarti penyediaan fasilitas peribadatan
bagi pemeluk agama islam lebih diprioritaskan, yang berupa Masjid dan Mushollah
dengan standar pada 2.4 berikut;
Tabel 2.4.Standar Pelayanan Minimun Sarana Peribadatan
No
|
Sarana Peribadatan
|
Jumlah Penduduk Pendukung
|
Luas Lahan (Ha)
|
1.
|
Masjid
|
5.000 jiwa
|
0,35
|
2.
|
Mushallah/Langgar
|
2.500 jiwa
|
0,06
|
Sumber : Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2005
e.
Fasilitas Perdagangan
Dalam
prospek perencanaan, perkembangan suatu kota ditentukan oleh tingkat
pertumbuhan ekonomi kota dan tingkat perkembangan ekonomi itu sendiri dapat
diketahui dengan melihat ketersediaan sarana ekonomi untuk melayani kebutuhan
penduduk sebagai pelaku kegiatan ekonomi. Fasilitas perekonomian yang dimaksud
disini adalah fasilitas pelayanan kegiatan perbelanjaan sehari-hari.
Dalam
kaitannya dengan kawasan perencanaan pada masa datang, dapat dialokasikan jenis
– jenis fasilitas perdagangan berdasarkan kriteria standar menurut pengelompokan
distribusi penduduk. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut;
Tabel 2.5. Standar Pelayanan Minimun Sarana Perdagangan
NO
|
Sarana Perdagangan
|
Jumlah Penduduk Pendukung
|
Luas Lahan (Ha)
|
1
|
Pertokoan
|
2.500 jiwa
|
0,24 Ha
|
2
|
Warung/Kios
|
250 jiwa
|
0,1 Ha
|
Sumber : Kepmen
Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2005
f.
Fasilitas Olahraga dan Ruang Terbuka
Fasilitas olahraga dan ruang terbuka adalah
semua bangunan dan taman yang digunakan untuk kegiatan olah raga dan rekreasi,
fasilitas ini merupakan fasilitas yang cukup penting mengingat fungsinya dalam
mengurangi kepadatan kawasan permukiman. Fasilitas ini terdiri dari lapangan
olah raga, tempat bermain dan jalur hijau.
Lokasi fasilitas ini umumnya terletak di
tengah – tengah lingkungan permukiman terutama untuk taman. Menurut standar
perencanaan lingkungan permukiman kota, kebutuhan fasilitas olah raga dan ruang
terbuka kawasan perencanaan dapat dilihat pada tabel 2.6 sebagai berikut;
Tabel 2.6. Standar Pelayanan Minimun Sarana Olahraga
dan Ruang Terbuka
No
|
Sarana Olahraga dan RTH
|
Jumlah Penduduk Pendukung
|
Luas Lahan (Ha)
|
1.
|
Taman
|
250 jiwa
|
0,05
|
2.
|
Taman Tempat Bermain
|
2.500 jiwa
|
0,25
|
3.
|
Lapangan Olahraga
|
-
|
1,8
|
Sumber : Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2005
2. ) Standarisasi Penyediaan Prasarana
Memperhatikan ketersediaan dan kelayakan
prasarana merupakan salah satu poin mewujudkan perencanaan berbasis
kesejahteraan. Prasarana suatu wilayah atau kota selalu mengikuti tata ruang
sebab prasarana adalah merupakan bagian dari ruang. (Tata Guna Tanah dalam
Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, hal.18, Edisi Ketiga Tahun 1986
Penerbit ITB oleh Johara T.Jayadinata ). Aspek-aspek penataruangan seperti
penetapan status kawasan, sarana hingga prasarana telah diatur oleh UU
penataruangan, RTRWN, dan acuan penyediaannya dalam wilayah yang disebut
standarisasi. Standarisasi penyediaan prasarana menjadi acuan tentang apa dan
bagaimana prasarana tersebut dapat melengkapi dan memenuhi konsonan tata ruang
wilayah/kota. Adapun standarisasi penyediaan masing-masing jenis prasarana pada
suatu wilayah/kota yakni sebagai berikut :
a.
Prasarana
Jalan
1)
Prasarana Jalan Kolektor
Karakter dari Prasarana jalan kolektor adalah
jalan yang berfungsi sebagai pengumpul lalu lintas dari Prasarana jalan lokal
untuk disalurkan ke Prasarana jalan arteri. Dengan kata lain Prasarana jalan
ini akan merupakan penghubung jalan arteri dengan jalan lokal.Selain itu jalan
yang memotong Prasarana jalan ini sedapat mungkin dibatasi oleh kendaraan yang
melintasinya. Jalan ini direkomendasikan berkecepatan lebih rendah dari
kecepatan kendaraan pada jalan arteri.
2)
Prasarana Jalan Lokal
Prasarana jalan lokal adalah jalan yang
berfungsi menampung lalu lintas dari jalan tertentu yang terlayani oleh jalan
lingkungan,dan selanjutnya akan disalurkan ke Prasarana jalan kolektor. Adapun
karakter dari jalan lokal adalah jarak perjalanannya atau identik dengan
panjang jalan ini relatif pendek dan jalan memotongnya (dapat saja berupa
gank/lorong) tidak dibatasi.selain itu direkomendasikan lebih mudah dari
ketentuan yang diberlakukan pada Prasarana jalan kolektor maupun arteri.
Untuk hierarki jaringan jalan dapat
diklasifikasikan berdasarkan pada kecepatan kendaraan, lebar jalan dan garis
sempadan jalan, yang dapat dilihat pada tabel 2.7 berikut ini :
Tabel 2.7. Jalan Berdasarkan Kecepatan Kendaraan, Lebar dan
GSJ
No
|
Hirarki
Jalan
|
Kecepatan Kendaraan
|
Minimal Lebar Jalan
|
1.
|
Arteri
Primer
|
> 60 km/jam
|
> 8 m
|
2.
|
Arteri
sekunder
|
> 30 km/jam
|
> 7 m
|
3.
|
Kolektor
Primer
|
> 40 km/jam
|
> 7 m
|
4.
|
Kolektor
Sekunder
|
> 20 km/jam
|
> 7 m
|
5.
|
Lokal
Primer
|
> 30 km/jam
|
> 6 m
|
6.
|
Lokal
Sekunder
|
> 10 km/jam
|
> 5 m
|
Sumber : Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2005
Selain itu, jenis prasarana dan utilitas pada
jaringan jalan yang harus disediakan ditetapkan menurut klasifikasi jalan
perumahan yang disusun berdasarkan hirarki jalan, fungsi jalan dan kelas
kawasan/lingkungan perumahan.
Jalan perumahan yang baik harus dapat
memberikan rasa aman dan nyaman bagi pergerakan pejalan kaki, pengendara sepeda
dan pengendara kendaraan bermotor. Selain itu harus didukung pula oleh
ketersediaan prasarana pendukung jalan, seperti perkerasan jalan, trotoar,
drainase, lansekap, rambu lalu lintas, parkir dan lain-lain.
b.
Prasarana
Drainase
Prasarana drainase
primer dan sekunder
harus mempunyai kapasitas tampung yang cukup untuk menampung air yang mengalir dari area kasiba dan kawasan sekitarnya. Saluran pembuangan air hujan dapat dibangun secara
terbuka dengan ketentuan sebagai berikut:
1)
Dasar
saluran terbuka ½ lingkaran dengan diameter minimum 20 cm atau berbentuk bulat
telur ukuran minimum 20/30 cm;
2)
Bahan saluran terbuat dari tanah liat, beton,
pasangan batu bata dan atau bahan lain;
3)
Kemiringan saluran minimum 2 %;
4)
Tidak boleh melebihi peil banjir di daerah
tersebut;
5)
Kedalaman saluran minimum 30 cm;
6)
Apabila saluran dibuat tertutup, maka pada tiap
perubahan arah harus dilengkapi dengan lubang kontrol dan pada bagian saluran
yang lurus lubang kontrol harus ditempatkan pada jarak maksimum 50 (lima puluh)
meter;
7)
Saluran tertutup dapat terbuat dari PVC, beton,
tanah liat dan bahan-bahan lain;
8)
Untuk mengatasi terhambatnya saluran air karena
endapan pasir/tanah pada drainase terbuka dan tertutup perlu bak kontrol dengan
jarak kurang lebih 50 m dengan dimensi (0,40x 0,40x 0,40) m3; Setiap lingkungan harus dilengkapi dengan sistem
pembuangan air hujan atau kotoran yang mempunyai kapasitas tampung yang cukup
seperti:
a)
Saluran pembuangan air hujan harus direncanakan
berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 2 tahunan.
b)
Saluran pembuangan air hujan dapat merupakan
saluran terbuka atau tertutup.
c)
Apabila saluran dibuat tertutup, maka tiap
perubahan arah harus dilengkapi dengan lubang pemeriksa, pada saluran yang
lurus lubang periksa harus dibuat tiap jarak minimum 50 meter.
d)
Tabel 2.8. Standar Perencanaan Prasarana Drainase
No
|
Kemiringan Lahan
|
Kerapatan Saluran (m/100 Ha)
|
Ket
|
|||
Primer
|
Sekunder
|
Tersier
|
Tot
|
|||
1
2
3
4
|
0-2 %
2-5 %
5-15 %
15-40 %
|
800
600
480
320
|
5100
4080
3060
2040
|
14100
11280
8460
5640
|
20000
15960
12000
8000
|
V min 0,6 m/dt
V mak
2.5m/dt
|
5
|
> 40 %
|
Tidak Direkomendasikan
|
Sumber :
Standar Nasional Indonesi Tahun 2004
Selain itu, lingkungan perumahan harus
dilengkapi jaringan drainase sesuai ketentuan dan persyaratan teknis yang
diatur dalam peraturan/ perundangan yang telah berlaku. Salah satu
ketentuan yang berlaku adalah SNI 02-2406-1991 tentang tata cara perencanaan
umum drainase perkotaan yang memuat bagian dari jaringan drainase seperti pada
tabel 2.9 berikut :
Tabel
2.9. Bagian Prasarana Drainase
Sarana
|
Prasarana
|
Badan
penerima air
|
Sumber
air di permukaan tanah (laut, sungai, danau)
|
Sumber
air di bawah permukaan tanah (air tanah akifer)
|
|
Bangunan
Pelengkap
|
Gorong-gorong
|
Pertemuan
saluran
|
|
Bangunan
terjunan
|
|
Jembatan
|
|
Street
inlet
|
|
Pompa
|
|
Bangunan
pelengkap
|
|
Pintu
air
|
Sumber: SNI 02-2406-1991, Tata Cara Perencanaan Umum
Drainase Perkotaan
c.
Prasarana Air Bersih
Air bersih memegang peranan penting sebagai
kebutuhan pokok dan utama penghidupan dan kehidupan penduduk di kawasan
perencanaan. Beberapa sumber air bersih yang dimanfaatkan oleh penduduk kawasan
perencanaan bersumber dari air permukaan (sungai) dan dari mata air pegunungan
yang dikelolah oleh PDAM dan masyarakat. Sasaran rencana kebutuhan air bersih
dikategorikan berdasarkan jumlah kebutuhan penduduk pendukung dan kebutuhan
aktivitas perkotaan.
Standar hidrant dan sarana pemadam kebakaran
pada umumnya dalam satu kilometer pipa distribusi terdapat 4-5 buah hidrant.
Ketentuan dalam penempatan hidrant yaitu:
1)
Satu kran
umum disediakan untuk jumlah pemakai 250 jiwa;
2)
Radius
pelayanan maksimum 100 meter;
3)
Kapasitas
minimum untuk kran umum adalah 30 liter/orang/hari;
Adapun
standarisasi kebutuhan air bersih berdasarkan jenis-jenis fasilitas wilayah
termasuk sasaran penggunaanya, dapat dilihat pada tabel 2.10 berikut :
Tabel 2.10. Standar Kebutuhan Air Bersih
No
|
Fasilitas
|
Kebutuhan
|
1
|
Perumahan
|
60 liter/orang/hari
|
2
|
Fasilitas Pendidikan
|
ü
STK 10 liter/orang/hari
ü
SD
10 liter/orang/hari
ü
SLTP 10 liter/orang/hari
ü
SLTA 10 liter/orang/hari
|
3
|
Fasilitas Kesehatan
|
Rumah
sakit bersalin 5.000 liter/hari, Puskesmas 3.000 liter/unit/hari, PUSTU 1.500
liter/unit/hari. Balai pengobatan 8.000 liter/unit/hari. Tempat praktek
dokter 300 liter/unit/hari dan Apotik 30 liter/unit/hari.
|
4
|
Pemerintahan dan PU
|
(kantor lingkungan, kantor pos, parkir umum
ditambah MCK) 1000 liter/orang/hari
|
5
|
Fasilitas
Peribadatan
|
ü
Mesjid 3500 liter/orang/hari
ü
Mushallah 2000 liter/orang/hari
|
6
|
Fasilitas
Perekonomian
|
Fasilitas
perekonomian menurut jenisnya adalah warung 250 liter/unit/hari, pertokoan
10.000 liter/unit/hari dan pusat perbelanjaan 86 m3 /ha/hari.
|
7
|
Fasilitas
Olahraga dan rekreasi
|
Balai
pertemuan 1.000 liter/unit/hari, gedung serbaguna 10.000 liter/unit/hari,
taman untuk bermain untuk 250 jiwa membutuhkan 1.000 liter/unit/hari, taman
untuk 2.500 jiwa membutuhkan 5.000 liter/unit/hari dan lapangan olahraga
10.000 liter/unit/hari.
|
Sumber :
Standar Nasional Indonesi Tahun 2004
d.
Prasarana Listrik
Keseluruhan kebutuhan energi listrik di
kawasan perencanaan berdasarkan standar perencanaan lingkungan perkotaan
kebutuhan listrik adalah :
1)
Perumahan
dengan golongan tipe A adalah 1.300 Watt/unit, tipe B adalah 900 Watt/unit dan
tipe C sebesar 900 Watt/unit.
2)
Fasilitas
perdagangan dan perkantoran membutuhkan suplay energi listrik sesuai standar
yakni 60 watt/m2 atau 25 % dari kebutuhan rumah tangga.
3)
Fasilitas
sosial dan pelayan umum untuk kegiatan pendidikan, kesehatan dan peribadatan
dan pelayanan umum meliputi pos keamanan dan balai pertemuan. Standar kebutuhan
energi listrik untuk fasilitas tersebut adalah 60 watt/m2 atau 25 % dari
kebutuhan rumah tangga.
4)
Penerangan
jalan kebutuhan listriknya adalah 10 % dari total kebutuhan keseluruhan rumah
tangga.
5)
Perkiraan
kehilangan energi listrik dalam transmisi diperkirakan 30 % dari total energi
listrik yang dibutuhkan.
Sistem
distribusi Prasarana kabel listrik dengan menggunakan tiang Sistem distribusi
Prasarana kabel listrik dengan menggunakan tiang yang terbuat dari pipa beton
yang penempatannya pada daerah manfaat jalan dengan jarak satu dengan yang
lainnya adalah lebih kurang 50 meter dan sebagai upaya untuk menghindari
gangguan Prasarana listrik, maka di beberapa tempat akan ditempatkan gardu
listrik yang sekaligus berfungsi sebagai pengontrol gangguan listrik yang akan
terjadi.
Tabel 2.11. Kebutuhan Listrik Untuk Perumahan
Jenis
Rumah
|
Ukuran
Petak Rata-rata (m2)
|
Luas
Bangunan Rata-rata (m2)
|
Kebutuhan
(watt)
|
Jumlah
Rumah yang Dilayani Gardu (unit)
|
Kecil
|
100
|
70
|
900
|
1400
|
Sedang
|
200
|
240
|
900
|
420
|
Besar
|
400
|
600
|
1300
|
100
|
Sumber : Standar Nasional
Indonesi Tahun 2004
Tabel 2.12. Kebutuhan Jaringan Listrik
No.
|
Jenis
Sambungan
|
Jumlah
Pelanggan (Unit)
|
Daya
(KVA)
|
Jumlah
(KVA/Watt)
|
1
|
Rumah
Type A
|
199
|
1,300
|
258,414
|
2
|
Rumah
Type B
|
596
|
900
|
536,706
|
3
|
Rumah
Type C
|
1,193
|
450
|
536,706
|
4
|
Pendidikan
|
4
|
1,500
|
6,000
|
5
|
Peribadatan
|
20
|
1,500
|
30,000
|
6
|
Kesehatan
|
8
|
1,500
|
12,000
|
7
|
Pelayanan
Umum
|
4
|
1,500
|
6,000
|
8
|
Perdagangan
|
4
|
1,500
|
6,000
|
9
|
Olah
Raga
|
3
|
1,500
|
4,500
|
10
|
Penerangan
Lampu Jalan = 10 % dari total kebutuhan
|
–
|
–
|
139,633
|
Jumlah
|
2,031
|
1,535,959
|
Sumber : Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Tahun 2002
e. Telekomunikasi
Prasarana telekomunikasi merupakan salah satu
jenis utilitas wilayah yang menunjang kelengkapan infrastruktur dalam suatu
wilayah tertentu.
Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan
yang harus dipenuhi adalah:
1)
Tiap
lingkungan rumah perlu dilayani sambungan telepon rumah melayani 14 kk (1:14)
2)
Dibutuhkan
sekurang-kurangnya 1 sambungan telepon umum untuk setiap 250 jiwa penduduk
(unit RT) yang ditempatkan pada pusat-pusat kegiatan lingkungan RT tersebut.
(1:250)
3)
Ketersediaan
antar sambungan telepon umum ini harus memiliki jarak radius bagi pejalan kaki
yaitu 200 - 400 m;
4)
Penempatan
pesawat telepon umum diutamakan di area-area publik seperti ruang terbuka umum,
pusat lingkungan, ataupun berdekatan dengan bangunan sarana lingkungan; dan
5)
Penempatan
pesawat telepon harus terlindungi terhadap cuaca (hujan dan panas matahari)
yang dapat diintegrasikan dengan kebutuhan kenyamanan pemakai telepon umum
tersebut.
Tabel 2.13. Kebutuhan Jaringan Telepon
No.
|
Jenis
Fasilitas
|
Jumlah
Sambungan
|
Persentase
(%)
|
1.
|
Permukiman
|
1,988
|
99.00
|
2.
|
Pelayanan
Umum
|
4
|
0.20
|
3.
|
Pendidikan
|
4
|
0.20
|
4.
|
Kesehatan
|
8
|
0.40
|
5.
|
Perekonomian
|
4
|
0.20
|
Jumlah
|
2,008
|
100.00
|
Sumber
: Keputusan Menteri
Permukiman & Prasarana Wilayah Tahun 2002
f.
Prasarana Persampahan
Keberadaan prasarana persampahan dalam suatu
kawasan perkotaan sangat dibutuhkan demi mewujudkan lingkungan perkotaan yang
bersih dan sehat. Adapun standar umum jumlah timbunan sampah yakni 2,9
liter/orang/hari. Sedangkan untuk fasiltas perdagangan 10% dari jumlah timbunan
sampah rumah tangga, dan untuk pendidikan yaitu 1,15 liter perhari untuk tiap
siswa, perkantoran yaitu 10% dari jumlah timbunan sampah pendidikan serta untuk
sampah jalan yaitu 0,825 x panjang jalan.
Kuantitas sampah yang dihasilkanakan
dikumpulkan ataupun dikelolah dengan menggunakan sarana dan prasarana, berupa
penyediaan;
1)
Gerobak 1 M2
melayani 200 KK.
2)
Tempat
pembuangan sementara (TPS) melayani 150 KK.
3)
Container
sampah dengan volume 6 – 8 M2 melayani 2.000 KK
Tabel 2.14. Sistem Penanganan Persampahan
No
|
Jenis Fasilitas
Persampahan
|
Kebutuhan
|
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
|
Standar Kebutuhan
|
Keterangan
|
|
Min
|
Max
|
|||||
1
|
Produksi Sampah
|
19,878
|
29,817
|
9,939
|
2
|
ltr/org/hr
|
2
|
Gerobak Sampah
|
15
|
25
|
1
|
1 Unit = 1 m3
|
|
3
|
Container
|
3
|
6
|
1
|
1 Unit = 3 m3
|
|
4
|
Truk
Sampah
|
1
|
2
|
3
|
1 Unit = 1 : 3 Container
|
Sumber
: Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah Tahun 2002
B. Hubungan Antara Variabel
1.
Hubungan antara pengembangan kawasan agropolitan dengan peningkatan
komuditi unggulan
Komuditi unggulan
sebagai prasayat dalam pengembangan kawasan agropolitan yang akan meningkatkan
mutu dan kualitas suatu komuditas yang menunjang, dimana suatu komuditas ini
akan dijadikan sebagai sentra dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Hubungan pengembangan
kawasan agropolitan dengan komuditi unggulan sangatlah erat. Bila suatu wilayah
mempunyai komuditas maka pengembangan kawasan agropolitan cepat berkembang dan
begitu pun sebaliknya.
2. Hubungan antara
pengembangan kawasan agropolitan dengan sarana dan prasarana
Kemajuan suatu
wilayah ditentukan oleh ketersedian sarana dan prasarana, bila sarana dan
prasarana menunjang maka dalam pengembangan kawasan agropolitan akan semakin
cepat berkembang
Ketersedian sarana
dan prasarana akan semakin menunjang dalam perkembangan dalam kawasan
agropolitan. Bila saran dan prasarana baik maka pengembagan kawasan akan
semakin baik dan lancar dan begitupun sebaliknya.
C. Studi Empiris
1.
Benny Oksatriandhi dan Eko Budi
Santoso (2014) dalam jurnal yang berjudul “Identifikasi Komunitas Unggukan Di
Kawasan Agropolitan Kabupaten Pasaman”
Dari hasil analisa dan pembahasan yang telah dilakukan pada
penelitian ini, maka didapatkan hasil perhitungan LQ dan DLQ untuk mencari
komoditas unggulan di kawasan Agropolitan Kabupaten Pasaman. Setelah didapatkan
hasil nya, komoditas unggulan tersebut antara lain : padi sawah, padi ladang,
kacang tanah, pisang, mangga, cabe, bayam, karet, coklat dan kelapa sawit.
Oleh karena itu, setelah didapatkannya komoditas unggulan di
kawasan agropolitan Kabupaten Pasaman diharapkan dapat membantu fokus
penegembangan komopditas agar tepat sasaran pada komoditi yang berpotensi
berkembang dengan baik.
2. Hermansyah, Roland. A. Barkey, Hazairin Zubair
(2012) dalam jurnal yang berjudul “Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Mendukung Peningkatan
Nilai Produksi Komoditi Unggulan Hortikultura Di Kecamatan Uluere Kabupaten
Bantaeng”. Kesimpulan dari penilitian ini adalah ;
Infrastruktur
pasar, bank, sekolah, gudang, dan cold storage kurang tersedia dan tidak
efektif penempatannya bagi pengembangan kawasan agropolitan untuk mendukung
peningkatan nilai produksi komoditi unggulan hortikultura di Kecamatan Uluere
Kabupaten Bantaeng. Berdasarkan pada hasil analisis matriks SWOT maka strategi
prioritas dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan untuk mendukung peningkatan
nilai komoditi unggulan hortikultura adalah peningkatan produktifitas dan
perluasan areal komoditi hortikultura, menambah dan menata kembali efektifitas gudang
dan merelokasi cold sorage, peningkatan kapasitas kelompok tani dan koperasi,
mengembangkan pasar Loka, meyediakan dana pinjaman lunak bagi petani hotikultura,
serta menjadikan desa Bonto Lojong sebagai kawasan agrowisata\ hortikultura.
Kurang tersedianya infrastruktur pendukung yang menyebabkan nilai produksi
komoditi, posisi tawar petani menjadi rendah, namun disisi lain masyarakat adalah
salah satu kunci berhasilnya sebuah pembangunan termasuk didalamnya pengembangan
kawasan agropolitan olehnya itu diperlukan penelitian selanjutnya yang dapat
mengkaji fungsi dan peran atau sejauh mana partisipasi masyarakat dalam rangka
pengembangan kawasan agropolitan. Dampak pengembangan kawasan agropolitan jika
tidak dikelola dengan baik akan merusak lingkungan. Pola integrasi pengembangan
hortikultura dan peternakan sapi dapat dilakukan oleh masyarakat didukung oleh
pemerintah dalam upaya menjaga kelestarian alam dan lingkungan.
3. Nurhana
(2014) dalam skripsi yang berjudul “arahan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan alla
kabupaten bantaeng”. Kesimpulan dari penilitian ini adalah
a. Ketersedian sarana dan prasarana di Kec.Alla Kabupaten Enrekang
sebagai kawasan agropolitan adalah 56,6 % dengan kategori cukup baik, maka
rekomendasi yang diberikan agar mengoptimalkan kagiatan agropolitan yaitu
adanya pengembangan prasaran dan sarana penunjang kawasan pertanian seperti
memperbaiki dan membangun prasarana jalan aspal untuk jalan usaha tani dan
jalan lingkar desa untuk menunjang kelancaran distribusi komuditi pertanian
dari tempat produksi ke tempat pengolahan.
b. Hasil analisis SWOT untuk pengembangan kawasan agropolitan di
kecamatan Alla Kabuten Enrekang menggunkaan strategi S-O, dan untuk mencapai
strategi tersebut maka rekomendasi yang diberikan yaitu ;
1)
Mengembangkan potensi wilayah
dalam kerangka mendukung pembangunan sektor agropolitan misalnya pembangunan
industri.
2)
Mengembangkan irigasi untuk
mendukung kawasan agropolitan.
3)
Melakukan penyuluhan atau
sosialisasi terhadap kelompok tani dalam rangka peningkatan produksi tani.
4)
Membuat papan informasi dan
promosi pemasaran hasil produksi di Kecamatan Alla.
D. PERPEKTIF AL-QUR’AN
QS. Ar Ra’d Ayat 14 :
وَفِي الْأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ
وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَىٰ بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ
بَعْضَهَا عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الْأُكُلِ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
Artinya :
Dan di
bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur,
tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang,
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu
atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
Menurut penafsiran surat ar rad ayat 4 bahwa “dan
terdapat pula di bumi, bagian bagian tanah yang berdekatan dan berdampingan
tetapi berlainan keseuburannya. Ada tanah yang sangat subur untuk ditanami apa
saja, ada pula tanah yang hanya dapat ditanami pohin pohon besar saja, tetapi
tidak baik ditanami tanaman palawija atau sebaliknya, da nada pula tanah yang
lunak da nada pula tanah yang keras yang untuk memcahkannya perlu dinamit dan
bahan peledak. Dan di bumi terdapat kebun kebun angur, palawija dan pohon yang
bercabang dan tidak bercabang. Semuanya itu disiram denga air yang sama tetapi
menghasilakn buah yang beraneka warna rasanya, seperti pohon tebu yang rasanya
manis, buah jeruk yang rasanya manis dan masam serta buah pariah yang rasanya
pahit. Pada semua itu adalah tanda tanada kekuasaan allah dan menjadai dalil
yang membawa keyakinana bagi orang orang yang suka berfikir.
E. KERANGKA FIKIR
Untuk
mengetahui sektor unggulan dan strategi pengembangan
|
Pengembangan Kawasan Agropolitan Terhadap
Produksi Komuditi Unggulan
|
Komoditi unggulan
· sektor yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif dengan produk
sektor sejenis dari daerah lain serta memberikan nilai manfaat yang besar
|
Pengembangan Kawasan Agropolitan
· kawasan
agropolitan dapat memberikan kesejahteraan masyarakat.
· kawasan ekonomi
berbasis pertanian dan dicirikan komoditi unggulan.
·
Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan
berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu
melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian
(agribisnis) di wilayah sekitarnya.
|
Analisis
|
Adapun
aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1.
Analisis LQ
2. Analisis
SWOT
|
Pengembangan
Kawasan Agropolitan Terhadap Produksi Komuditi Unggulan Di Kecamatan Alla
Kab.Enrekang.
|
Dukungan infrastruktur
yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan
agropolitan
|
Potensi Agropolitan
· Produksi
bawang merah di KabupatenEnrekang mencapai 13.432,67 ton per tahun
· Di
KabupatenEnrekang produksi Cabe merah mencapai 5.561,59 ton pertahun
· Komoditi
kentang di Kab.Enrekang mencapai 2.712,40 ton per tahun dan wilayah
Kecamatan paling tinggi produksinya adalah Kec.Alla dan Kecamatan Masalle
yang dapat mencapai 2.452.,09 ton pertahun dengan luas lahan tanam 155 Ha
·
Dari 9 Kecamatan di KabupatenEnrekang
wilayah yang paling tinggi produksinya adalah Kec. Alla mencapai 15.048 ton
pertahun
|
F.
HIPOTESIS
1. Diduga
peningkatan produksi komiditas unggulan terhadap pengembagan kawasan
agropolitan di Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang akan semakin mempercepat dalam proses
perkembangannya karena adanya suatu sektor yang dapat mendorong dalam
percepatan pengembangan kawasan.
2. Diduga
penyedian sarana dan prasarana terhadap pengembangan kawasan agropolitan di
Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang dapat meningkatkan produksi dan efektiftas
dalam produksi hasil petanian, maka dapat mendorong dalam percepatan
pengembangan kawasan.
BAB III
METODOLOGI PENILITIAN
A. LOKASI DAN WAKTU PENILITIAN
Penlitian ini dilakukan di kecamatan
Alla Kabupeten Enrekang terdiri dari 5 desa dan 3 kelurahan. Dan adapun untuk
waktu yang digunakan adalah pada bukan Mei hingga Juli 2016.
B.
JENIS DAN SUMBER DATA
Data Primer adalah data yang bersumber
dari survey atau pengamatan lansung ke lapangan atau objek
penilitian.
Data sekunder adalah data yang
bersumber dari instansi atau lembaga-lembaga terkait serta hasil penelitian
sebelumnya yang sifatnya merupakan data baku, Jenis data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jenis
Data yang di Butuhkan dalam Penelitian di Kecamatan Alla
No
|
Data
|
Sumber Data
|
Jenis Data
|
1
|
Kondisi
fisik dasar lokasi
|
Survey lapangan
|
Primer
|
2
|
Jaringan utilitas, fasilitas dan pelayanan
|
Survey lapangan
|
Primer
|
3
|
Aksebilitas
|
Survey lapangan
|
Primer
|
4
|
Sosial budaya masyarakat
|
Survey lapangan danwawancara
|
Primer
|
5
|
Komuditi Unggulan
|
BPS, Kantor Kecamatan
|
Sekunder
|
6
|
Data kondisi fisik wilayah studi yang mencakup data
geografis, kondisi topografi, kelerengan, geologi, jenis tanah dan hidrologi
|
BPS, Kantor Kecamatan
|
Sekunder
|
7
|
Prasarana
dan sarana, meliputi jenis fasilitas yang ada
|
BPS, Kantor Kecamatan
|
Sekunder
|
C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam
mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka dilakukan suatu
teknik pengumpulan data, metode pengumpulan data yang dilakukan untuk
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Observasi Lapangan
Observasi
lapangan dilakukan untuk memperoleh data yang lebih akurat dan sekaligus
membandingkan atau mencocokkan data dari
instansi terkait dengan data yang sebenarnya di lapangan.
2) Wawancara
Hal ini dilakukan dengan maksud mendengarkan tanggapan
ataupun informasi – informasi penting
tentang daerah atau wilayah survey oleh warga setempat.
3) Metode telaah pustaka
Cara pengumpulan data dengan menggunakan sumber-sumber
dokumenter berupa literatur/referensi, laporan penelitian serupa, bahan seminar
atau jurnal.
D. VARIABEL PENELITIAN
variabel yang digunakan
dalam penilitian ini yaitu :
1.
Peningkatan komuditas unggulan dalam
Kecamatan Alla Kabupaten Bawang Merah dalam peningkatan pengembangan kawasan
agropolitan.
2.
Peningkatan pelayanan sarana dan prasarana
(pendukung kawasan agropolitan)
E. METODE ANALISIS
Metode analisis yang
digunkan dalam peniltian ini adalah :
1.
Analisis LQ
a. Location
Quotion (LQ).
Salah satu daerah yang dapat digunakan untuk menganalisis
komoditas unggulan adalah di Kabupaten
Wajo Bagian yang merupakan salah satu
daerah pengembangan sektor perikanan
budidaya.
b. Menghitung
nilai LQ
Location Quotion (LQ) merupakan suatu indeks untuk membandingkan
komoditas pada tingkat Kabupaten di Kabupaten Wajo Bagian dalam aktivitas perikanan budidaya dengan komoditas
di Kabupaten Wajo Bagian . Secara lebih operasionai, LQ didefinisikan sebagai
rasio persentase dari total aktivitas perikanan budidaya pada sub wilayah ke-i
terhadap persentase aktivitas total terhadap wilayah yang diamati.
Adapun formula dari LQ adalah :
LQ
=(Xij/Xi)/(Xij/Xj)
Keterangan:
Xij
= produksi jenis komoditas ke-j pada Kabupaten
Xi =
produksi total Kabupaten
Xj =
produksi total jenis komoditas ke-j Provinsi
X = produksi total Provinsi
Interpretasi
nilai LQ
Untuk
dapat menginterpretasikan hasil analisis LQ, maka:
(1) Jika nilai LQ > 1, menunjukkan terjadinya
konsentrasi produksi perikanan budidaya di tingkat Kabupaten secara relatif dibandingkan dengan total
Provinsi atau terjadi pemusatan aktivitas di Kabupaten. Atau terjadi surplus
produksi di Kabupaten dan komoditas tersebut merupakan sector basis di
Kabupaten.
(2) Jika nilai LQ = 1, maka pada Kabupaten mempunyai aktivitas perikanan
budidaya setara dengan Provinsi.
(3) Jika nilai LQ < 1, maka Kabupaten Wajo mempunyai pangsa relatif lebih kecil
dibandingkan dengan aktivitas perikanan budidaya Provinsi, atau telah terjadi
defisit produksi di Kabupaten Wajo.
2.
Analisis SWOT
Indikator
yang menjadi potensi pengembangan Suistainable tourism dilakukan pengujian untuk mendapatkan konsep yang akan
diterapkan dengan analisis SWOT yang meliputi peniaian terhadap faktor
kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness). Sementara, analisis eksternal
mencakup faktor peluang (Opportunity) dan tantangan (ThreathS) di Leang
Panninge’e Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis data secara kualitatif adalah analisis terhadap
faktor-faktor internal dan eksternal Sedangkan analisis secara kuantitatif
dilakukan degan pembobotan dan pemberian rating Sandy (2010) dalam Amin (2013). Kerangka atau tahapan
kerja dengan menggunakan analisis SWOT adalah sebagai berikut:
a. Analisis
Penilaian Faktor Internal dan Eksternal
Penilaian
faktor internal (IFE) adalah untuk mengetahui pengaruh kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua faktor kekuatan 10 dan kelemahan
tersebut, serta memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
hubungan antar faktor-faktor tersebut. Sedangkan penilaian faktor eksternal
adalah untuk mengetahui pengaruh peluang dan ancaman yang dimiliki dengan cara
mendaftarkan semua faktor peluang dan ancaman yang ada David (2008) dalam Amin (2013). Identifikasi berbagai
faktor tersebut secara sistematis digunakan untuk merumuskan strategi
pengelolaan wisata air panas Reatoa.
b. Penentuan Bobot Setiap Variabel
Setelah
diketahui faktor internal dan eksternal, selanjutnya dilakukan penentuan
tingkat kepentingannya. Pemberian nilai tingkat kepentingan dilakukan kepada
setiap faktor dengan kisaran nilai berikut (5 = sangat penting 4 = penting 3 =
cukup penting 2 = kurang penting 1 = sangat kurang penting Untuk faktor
kekuatan dan peluang, semakin besar tingkat kepentingannya maka akan bernilai
semakin besar, sedangkan untuk faktor kelemahan dan ancaman bernilai
sebaliknya. Setelah mendapatkan nilai tingkat kepentingan dari setiap faktor
strategis internal dan eksternal, selanjutnya dilakukan pembobotan dengan
menggunakan metode Paired Comparison (perbandingan berpasangan).
Penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4 dengan
penjelasan sebagai berikut Amin (2013) dalam
David (2008):
1) Bobot
1 jika indikator faktor horizontal kurang penting dibandingkan indikator faktor
vertikal.
2) Bobot
2 jika indikator faktor horizontal sama penting dibandingkan indikator faktor
vertikal.
3) Bobot 3 jika indikator faktor horizontal lebih
penting dibandingkan indikator faktor vertikal.
4) Bobot 4 jika indikator faktor horizontal
sangat lebih penting dibandingkan indikator faktor vertikal.
Bobot
setiap variabel diperoleh dengan menentukan pembagian nilai setiap variabel
terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel (Kinnear dan Taylor 1991).
c.
Penentuan
Peringkat (Rating)
Nilai
pembobotan pada setiap variabel kemudian dikalikan dengan peringkat berdasarkan
nilai tingkat kepentingannya untuk mendapatkan skor pembobotan. Total skor
pembobotan didapatkan dari hasil penjumlahan skor pembobotan dari semua faktor
strategis. Total skor pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika
total skor pembobotan IFE di bawah 2,5 maka dapat dinyatakan bahwa faktor
internal lemah, sedangkan jika berada di atas 2,5 maka dinyatakan faktor
internal kuat. Hal yang sama juga berlaku untuk total skor pembobotan EFE
(David 2008). Nilai total skor pembobotan IFE dan EFE selanjutnya dipetakan
dalam matriks Internal-Eksternal (IE) (Gambar 1). Pemetaan ke Matriks IE
bertujuan untuk mengetahui kondisi pengelolaan yang ada pada saat ini
berdasarkan faktor-faktor internal eksternal. Matriks IE terbagi menjadi
sembilan kolom dengan pembagian kolom I, II, dan IV untuk strategi yang tumbuh
dan membangun 11 (Growth and Build); kolom III, V, dan VII untuk
strategi yang mempertahankan dan memelihara (Hold and Maintain); serta
kolom VI, VIII, dan IX untuk strategi pemanenan dan divestasi (Harvest and
Divest) (David 2008) dalam Amin
(2013). Nilai total skor pembobotan dipetakan pada Matriks IE untuk mengetahui
posisi pengelolaan Kawasan Air Panas Reatoa Maros saat ini pada kolom-kolom
yang ada. Posisi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan dan
menyusun strategi yang tepat untuk pengelolaan Kawasan Goa Leang Panninge’e.
d. Penyusunan
Alternatif Strategi
Alat bantu untuk menyusun strategi pengelolaan Kawasan
Air Panas Reatoa Maros adalah matriks SWOT (Tabel 2) yang berisi kemungkinan
strategi alternatif yang dapat digunakan. Terdapat empat jenis strategi yang
dihasilkan, yaitu:
1) Strategi
SO, yaitu dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk mengambil peluang
sebesar-besarnya.
2) Strategi
ST, yaitu dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
3) Strategi
WO, yaitu dengan mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan.
4) Strategi
WT, yaitu dengan meminimalisir kelemahan-kelemahan untuk menghindari ancaman.
Gambar
1.
Matriks Internal dan Eksternal (Amin,2013)\
Matriks SWOT tersebut
dapat menghasilkan beberapa alternatif strategi pengelolaan Kawasan Air Panas
Reatoa Maros sehingga kekuatan dan peluang dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan
serta kelemahan dan ancaman dapat diminimalisir dan diatasi.
e. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif
Strategi
Penentuan rangking
prioritas strategi yang telah dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan
faktor-faktor yang saling terkait dan berpengaruh dalam strategi tersebut.
Kemudian dilakukan penjumlahan skor pembobotan dari masing-masing faktor
tersebut. Hasil perhitungan tersebut menjadi nilai bagi strategi yang ada.
Penentuan rangking prioritas dilakukan berdasarkan urutan nilai strategi yang
terbesar hingga yang terkecil. Perangkingan ini dilakukan secara subyektif
dengan memaksimumkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunity)
serta meminimumkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threat).
Tabel
7. Matriks SWOT
|
Opportunities
|
Threats
|
||
Strenghts
|
Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil kesempatan yang ada
|
Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi
|
||
Weakness
|
Mendapatkan
keuntungan dari kesempatan yang ada untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
|
Meminimumkan kelemahan
dan menghindari ancaman yang ada
|
Sumber
: Rangkuti (1997)
F. DEFINISI OPERASIONAL
1. Agropolitan
terdiri dari dua kata, agro dan politan (polis). Agro berarti pertaian dan
politan berarti kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian
atau kota daerah lahan pertanian ataupun pertanian di kota. Agropolitan adalah
kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha
agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
2. Kawasan
adalah wilayah yang mempuanyai fungsi utama lindung atau budidaya.
3. Pengembangan
adalah memajukan atau memperbaiki ataupun meningkatkan sesuatu yang sudah ada.
4. Kawasan
agropolitan adalah kawasan yang mempunyai satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya
alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki
keruangan suatu sistem permukiman dan agrobisnis (UU No.26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang).
5. Pengembangan
kawasan agropolitan adalah pembanguanan ekonomi berbasis pertanian di kawasan
agropolitan yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai
potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang
berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesantralisasi yang
digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi olh pemerintah.
6. Komunitas
unggulan adalah komunitras pertanian (tanaman pangan, holpikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan) yang dibudidayakan oleh mayoritas masyarakat, terjamin
ketersediannya terus menerus, masih dalam bentuk primer, ataun bentuk olahan
sementara, dan produk olahan akhir, telah diusahakan dalam industry kecil atau
menengah atau besar, berdaya saing dan mempunyai pangsa pasar baik lokal,
regional, maupun internasional dan akan atau menjadi ciri khas daerah kawasan.
7. Prasarana
dan sarana adalah fasilitas vital suatu
kawasan atau daerah yang merupakan prasayat utama yang harus ada dalam suatu
kawasan untuk dapat meningkatkan produktitas sumber daya yang ada dalam kawasan
tersebut.
8. Sarana
hasil produksi pertanian adalah usaha untuk menciptakan atau menambah fedah
ekonomi suatu hasil pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Agussiswoyo
(2011), “Pengertian Agropolitan”, http://agusssiwoyo.net
(di
akses pada tanggal 19 april 2016)
Benny Oksatriandhi dan Eko Budi Santoso (2014) dalam jurnal yang berjudul ““Identifikasi
Komunitas Unggukan Di Kawasan Agropolitan Kabupaten Pasaman”
Hermansyah,
Roland. A. Barkey, Hazairin Zubair (2012) dalam jurnal yang berjudul
“Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk
Mendukung Peningkatan Nilai Produksi Komoditi Unggulan Hortikultura Di
Kecamatan Uluere Kabupaten Bantaeng”, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/8ae19b9b009a57c76e4badefe323af4d.pdf, (di akses pada tanggal 23 april 2016)
Nurhana
(2014) dalam skripsi yang berjudul “arahan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan alla
kabupaten bantaeng”.
Institut Pertanian Bogor (ITB),
“Tinjauan Pustaka”, http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41581/Bab%20II%202007bba.pdf?sequence=4&isAllowed=y , (di akses pada
tanggal 24 mei 2016)
Badan pusat statistik (BPS),Kabupaten enrekang dalam angka 2015
situs resmi kabuapaten enrekang, http://ver2.enrekangkab.go.id/index.php/potensi/pertanian , (diakses pada tanggal 24 april 2016)